Rabu

Transmisi Kebudayaan Yunani

Sinergi Pendidikan Pesantren Modern dan Pendidikan pesantren Salaf Dalam Membangun Masyarakat Yang Madani


A. Mukadimah
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang khas. Pendidikan di pondok pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan, dan pendidikan lainnya. Peserta didik pada pondok pesantren disebut santri yang umumnya tinggal menetap di pesantren. Tempat para santri menetap di lingkungan pesantren disebut dengan istilah pondok. Dari sinilah timbul istilah pondok pesantren yang akhir-akhir ini diakronimkan menjadi pontren. Sejak jaman penjajahan pontren merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Lembaga tersebut telah lama mendapat pengakuan masyarakat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagian di antaranya telah bersinergi dengan sekolah dalam upaya membangun masyarakat yang madani.
Pontren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia, karena sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka yaitu sejak Islam masuk ke Indonesia. Pontren telah membina kehidupan beragama di Indonesia, berperan dalam menanamkan rasa kebangsaan ke dalam jiwa rakyat Indonesia, serta mencerdaskan bangsa.
Pontren adalah suatu komunitas tersendiri. Di dalamnya hidup sejumlah santri dengan komitmen mengikat diri dengan kiyai, tuan guru, buya, ajengan, abu, tengku (atau nama lainnya) dengan standar moral tertentu, serta membentuk kultur tersendiri. Sebuah komunitas disebut pontren minimal ada kiyai, masjid, asrama (pondok), pengajian kitab kuning (naskah salaf tentang ilmu-ilmu ke-Islaman). Selanjutnya, karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan dan tuntutan dinamika masyarakat, beberapa pontren menyelenggarakan sekolah.
Sebelum Indonesia merdeka pontren menjadi salah satu kutub dalam dunia pendidikan di Indonesia, sedangkan kutub di seberangnya berupa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Setelah Indonesia merdeka, kutub yang berseberangan antara pontren (pendidikan agama) dengan sekolah (pendidikan umum) berangsur mencair, antara lain dengan masuknya pendidikan agama ke sekolah dan semakin meningkatnya pendidikan umum di pontren. Pontren selain berfungsi sebagai lembaga pendidikan keagamaan, juga berperan sebagai pusat pengembangan masyarakat dan pusat pengembangan sumber daya manusia. Dalam posisinya yang unik, pontren diharapkan dapat menjadi bagian yang lebih nyata dalam sistem pendidikan nasional, sehingga lebih bermakna peranannya dalam pencerdasan masyarakat dan pembangunan bangsa menuju masyarakat yang madani.
1. Pertumbuhan Pondok Pesantren
Tumbuhnya pontren tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam di nusantara. Orang-orang yang masuk Islam semula belajar tentang agama yang baru dipeluknya, baik tentang rukun

Islam, rukun iman, Al Qur’an, Al Hadits, serta pengetahuan Islam lainnya di rumah, di surau, di langgar, atau di masjid. Ketika mereka ingin mengetahui lebih luas dan mendalam tentang Islam, maka kemudian mereka melanjutkan ke pontren. Ada dua pendapat mengenai asal-usul pontren. Pendapat pertama menyebutkan bahwa pontren berakar pada tradisi Islam dan pendapat kedua mengatakan pontren adalah asli Indonesia. Pendapat pertama terdiri dari dua versi, ada yang berpendapat bahwa pontren berawal sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Versi kedua menyebutkan bahwa pontren merupakan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Sedangkan pendapat kedua memandang pontren merupakan pengambilalihan dari model pendidikan pemeluk agama Hindu di nusantara. Yang jelas, pontren baru tampak perkembangannya setelah abad ke16.
Di Indonesia pontren jauh lebih dahulu muncul bila dibandingkan dengan sekolah. Pontren mempunyai ciri tersendiri, antara lain tidak menganut sistem klasikal (tidak menggunakan kelas) karena santri tinggal di pondok dan pengajarannya dilakukan secara penuh 24 jam. Pengasuh pontren tidak terlalu mengatur santri tetapi mengasuh, memberikan bimbingan, serta teladan kepada santri. Tujuan pontren adalah: (1) pendalaman ilmu agama Islam (tafaqquh fid-din) untuk mencetak kader-kader ulama dan mencerdaskan masyarakat; (2) dakwah (menyebarkan) agama Islam; (3) benteng pertahanan umat di bidang akhlak; dan (4) pengembangan masyarakat di berbagai sektor kehidupan. Dengan pontren, proses internalisasi ajaran Islam kepada santri bisa berjalan secara penuh dan tercipta satu komunitas tersendiri yang di dalamnya terdapat semua aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya, dan organisasi. Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa pontren menyelenggarakan sekolah dan kegiatan lain yang bertujuan untuk pemberdayaan potensi masyarakat di sekitarnya.
Kurikulum pada suatu pontren tidak sama dengan kurikulum yang diterapkan di sekolah, bahkan tidak sama pula dengan kurikulum pontren lainnya. Pada umumnya, kurikulum pontren adalah berupa arah pembelajaran tertentu (manhaj) yang berbentuk penetapan kitab-kitab tertentu sesuai dengan pendekatan belajar tuntas (mastery learning). Keragaman model pendekatan kurikuler juga terdapat dalam sistem dan penamaan batasan penjenjangan. Biasanya pontren menerapkan metode pembelajaran wetonan (bandongan), sorogan, hapalan (tahfidz), mudzakarah (musyawarah/munazharah), halaqah (seminar), dan majlis ta’lim.
Selama 25 tahun terakhir ini pertumbuhan pontren di Indonesia cukup pesat. Hal ini terjadi karena alumninya setelah pulang atau pindah ke tempat lain mendirikan pontren baru. Di tambah lagi dengan pontren yang berdiri dengan pola lain, misalnya: (1) pontren yang didirikan oleh sekolah; (2) pontren yang berdirinya merupakan suatu paket langsung yang lengkap dan integral; dan (3) pontren yang didirikan oleh komunitas homogen untuk menjaga kesinambungan keilmuan Islam.
Sikap pemerintahan kolonial makin membakar semangat para ulama untuk berjuang melawan Belanda. Kebijakan pemerintah selalu ditentang oleh pontren karena dianggap melemahkan perlawanan rakyat. Hal itu terus berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Jepang mewaspadai pontren karena membahayakan kekuasaan mereka. Trauma di masa penjajahan inilah yang menyebabkan hingga saat ini ada pontren yang tidak mau menerima “intervensi” pemerintah. Sejak Indonesia merdeka, pemerintah mengambil sikap yang berlawanan dengan sikap penjajah yang selalu mermusuhi pontren; bahkan secara tegas memberikan pengakuan terhadap peranan pontren dalam pencerdasan bangsa. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) selaku lembaga parlemen saat itu dalam rekomendasinya tanggal 27 Desember 1945 tentang pembaharuan pendidikan menyarankan: “Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya ialah satu alat dan sumber pendidikan dalam pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umunya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan materiil dari pemerintah”.
Atas saran BPKNIP tersebut, pemerintah melalui Panitia Penyelidik Pengajaran yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara, menegaskan: “bahwa pengajaran yang besifat pondok pesantren dan madrasah perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain”. Perhatian pemerintah Indonesia terhadap pontren direalisasikan dengan menjadikan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan sebagai bagian penting dalam tugas Departemen Agama yang dibentuk pada tanggal 3 Januari 1946.
2. Perkembangan dan Bentuk Pondok Pesantren
Pontren adalah sebuah sistem yang unik; tidak hanya unik dalam pendekatan pembelajarannya, tetapi juga unik dalam tata nilai yang dianut, cara hidup, struktur pembagian kewenangan, dan semua aspek kependidikan dan kemasyarakatan. Masing-masing pondok mempunyai keistimewaan. Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu pontren memiliki persamaan, yakni di dalamnya terdapat sedikitnya lima unsur, yaitu: (a) kyai; (b) santri; (c) pengajian; (d) asrama; dan (e) masjid dengan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatannya.
Sejak awal pertumbuhannya, dengan bentuknya yang khas dan bervariasi, pontren terus berkembang; namun perkembangan yang signifikan muncul setelah terjadi persinggungan dengan sistem sekolah/madrasi, yaitu sistem pendidikan dengan pendekatan klasikal, sebagai lawan dari sistem individual yang berkembang di pontren sebelumnya. Persentuhan pontren dengan sekolah mulai terjadi pada akhir abad ke 19 dan semakin nyata pada awal abad ke 20.
Model pendidikan Islam dalam bentuk sekolah tidak hanya dikembangkan di luar pontren, tetapi juga diserap oleh pontren untuk memperbaharui atau memberi pengayaan terhadap sistem yang sudah berjalan. Dengan demikian, berkembang pontren yang selain menyelenggarakan pendidikan Islam dengan sistem sekolah, tetap menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan individual. Sementara itu, masih banyak juga pontren yang tetap mempertahankan pembelajaran dengan pendekatan individual, tanpa menyelenggarakan sistem sekolah. Pendidikan Islam dengan sistem sekolah ini dalam tahap berikutnya juga mengalami perkembangan, di satu pihak cenderung mengarah ke pendidikan umum dan di pihak lain ada yang tetap mempertahankan dominasi pendidikan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Bentuk pertama di kenal dengan madrasah (ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah), sedangkan bentuk kedua dikenal dengan madrasah diniyah atau salafiyah (ula, wustha, ulya). Satuan pendidikan dengan nama salafiyah pada umumnya hanya dipergunakan di lingkungan pontren.
Di lapangan terlihat bahwa bentuk pontren sangat bervariasi: ada pontren yang menyelenggarakan pengjian kitab-kitab klasik (salafiyah); ada pontren yang memberikan tambahan latihan kejuruan; ada pontren yang menyelenggarakan kegiatan pengajian kitab namun lebih mengarah pada upaya pengembangan tarekat/sufisme, para santrinya ada yang mondok dan ada pula yang tidak mondok; ada pontren yang hanya menyelenggarakan kegiatan keterampilan khusus agama Islam, kegiatan keagamaan, seperti tahfidz (hapalan) Al Qur’an dan majlis ta’lim, adakalanya santri mondok adakalanya tidak; ada pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran pada orang-orang penyandang masalah sosial; ada pontren yang menyelenggarakan pengajian kitab-kitab klasik namun juga menyelenggarakan sekolah; serta ada pontren yang merupakan kombinasi dari beberapa poin atau seluruh poin tersebut. Keragaman dan keunikan pontren juga terdapat pada sistem pembelajaraannya. Ada pontren yang tetap mempertahankan sistem pembelajaran lama yang cenderung menggunakan pendekatan individual atau kelompok, dan ada pula pontren yang menyerap sistem pendidikan modern yang lebih mengedepankan pendekatan klasikal. Dari berbagai tingkat konsistensi dengan sistem lama dan keterpengaruhan oleh sistem modern, secara garis besar pontren dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu: (a) pontren salafiyah; (b) pontren khalafiyah; dan (c) pontren campuran/kombinasi.
Salaf artinya lama, dahulu, atau tradisional”. Pontren salafiyah adalah pontren yang menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik, berbahasa Arab. Penjenjangan tidak didasarkan pada satuan waktu, tetapi berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari. Dengan selesainya satu kitab tertentu, santri dapat naik jenjang dengan mempelajari kitab yang tingkat kesukarannya lebih tinggi. Demikian seterusnya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pendidikan modern yang dikenal dengan sistem belajar tuntas. Dengan cara ini, santri dapat lebih intensif mempelajari suatu cabang ilmu. Khalaf artinya kemudian atau belakangan, sedangkan ashri artinya sekarang atau modern. Pontren khalafiyah adalah pontren yang menyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan modern, baik madrasah (MI, MTs, MA, atau MAK), maupun sekolah (SD, SMP, SMU, dan SMK), atau nama lainnya, tetapi dengan pendekatan klasikal. Pembelajaran pada pontren khalafiyah dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan, dengan satuan program didasarkan pada satuan waktu, seperti catur wulan, semester, tahun/kelas, dan seterusnya. Pada pontren khalafiyah, pondok lebih banyak berfungsi sebagai asrama yang memberikan lingkungan kondusif untuk pendidikan agama.
Pontren salafiyah dan khalafiyah dengan penjelasan di atas adalah salafiyah dan khalafiyah dalam bentuknya yang ekstrim. Kini sedikit pontren dengan pengertian tersebut, karena sebagian besar pontren berada di antara rentangan dua pengertian di atas. Pontren yang menamakan diri pontren salafiyah, pada umumnya juga menyelenggarakan pendidikan secara klasikal dan berjenjang, walaupun tidak dengan nama madrasah atau sekolah. Demkian juga pontren khalafiyah pada umumnya menyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan pengajian kitab klasik, karena sistem ngaji kitab itulah salah satu identitas pontren. Tanpa menyelenggarakan pengajian kitab klasik, agak janggal disebut sebagai pontren. Di samping bentuk pesantren berdasarkan pendekatan pendidikan yang dilakukan tradisional atau modern, juga ada bentuk berdasarakan konsentrasi ilmu-ilmu agama yang diajarkan. Di sini dikenal pesantren Al Qur’an yang berkonsentrasi pada pendidikan Al Qur’an, mulai qira’ah sampai tahfizh. Ada pesantren hadits yang berkonsentrasi pada pembelajaran hadits. Ada pesantren fiqih, pesantren ushul fiqh, pesantren tasawuf, dan seterusnya.
Bentuk pontren tidak hanya didasarkan pada penyelenggaraan pendidikan agama. Ada bentuk lain yang muncul berdasarkan fungsinya sebagai lembaga pengembangan masyarakat melalui program-program pengembangan usaha sehingga lalu dikenal pesantren pertanian, pesantren keterampilan, pesantren agribisnis, pesantren kelautan, dan sebagainya. Maksudnya adalah, pesantren yang selain menyelenggarakan pendidikan agama juga mengembangkan pertanian, atau menyelenggarakan jenis-jenis keterampilan tertentu, atau mengembangkan agribisnis tertentu, atau mengembangkan budi daya kelautan. Pontren kini banyak yang berfungsi sebagai lembaga pengembangan masyarakat, termasuk pengembangan ekonomi umat. Sebagai lembaga pendidikan Islam, di samping mengajarkan ilmu-ilmu agama, juga membekali dan melatih para santri untuk mampu berwirausaha, agar setelah lulus nanti mereka mampu mandiri. Tidak sedikit pontren yang berhasil mengembangkan usaha sehingga dapat menunjang biaya pendidikan, khususnya bagi santri yang tidak mampu atau bahkan ada yang telah berhasil memberdayakan ekonomi umat sekitar pesantren.
Pontren memiliki potensi untuk memberdayakan diri dan masyarakat lingkungannya, sebab: (a) pontren adalah lembaga pendidikan yang populis, didirikan secara mandiri oleh dan untuk masyarakat, sangat berperan dalam pembentukan moral bangsa; (b) adanya figur ulama selaku tokoh kharismatik pada pontren yang menjadi panutan masyarakat sekitarnya; (c) tersedianya SDM yang cukup memadai pada pontren; (d) tersedianya lahan yang luas, karena pada umumnya berada di pedesaan; (e) jiwa kemandirian, keikhlasan, kesederhanaan tumbuh di kalangan keluarga besar pesantren; (f) tersedianya cukup waktu bagi para santri, karena mereka bermukim di pondok; (g) adanya jaringan yang kuat di kalangan pontren, khususnya pesantren sejenis yang dikembangkan oleh para alumninya; serta (h) minat masyarakat cukup besar terhadap pesantren, karena di samping diberikan pendidikan agama dan pelajaran umum, juga bimbingan moral. Wujud keikutsertaan pontren dalam laju kehidupan kemasyarakatan yang dinamis, antara lain: (a) pendidikan dan dakwah; serta (b) hampir semua aspek kemasyarakataan, terutama yang berkaitan dengan ekonomi dan kebudayaan. Pendidikan agama atau pengajian kitab adalah kegiatan utama dari pontren yang penyelenggaraannya diserahkan sepenuhnya kepada kiyai selaku pengasuh pontren. Kegiatan pengajian kitab ini adalah untuk pendalaman bagi santri yang merupakan calon ulama tentang ajaran Islam dari sumber aslinya (kitab-kitab kuning yang dikarang oleh ulama pada abad pertengahan). Sedangkan d akwah juga merupakan program utama di pontren karena pontren memang berfungsi untuk menyebarkan ajaran Islam.
Penyelenggaraan madrasah/sekolah umum dan sekolah kejuruan di pontren diharapkan agar santri selain memiliki pengetahuan agama dan keterampilan praktis yang mumpuni, juga memiliki pengetahuan akademis yang bermanfaat bagi masa depan mereka. Sedangkan p enyelenggaraan pendidikan seni di pontren dimaksudkan untuk lebih meningkatkan apresiasi para santri terhadap beragam bentuk kesenian, utamanya kesenian yang Islami. Pendidikan kepanduan (kepramukaan) merupakan suatu sistem pendidikan di luar pendidikan rumah tangga, masyarakat dan sekolah yang sangat baik. Dengan penyelenggaraan pendidikan kepanduan di pontren maka kreativitas, disiplin, dan dinamika santri dapat meningkat. Pendidikan olahraga dan kesehatan di pontren juga besar sekali manfaatnya untuk menjaga keseimbangan dan kesehatan jasmani. Pendidikan kejuruan juga perlu dikembangkan di pontren untuk kepentingan dan kebutuhan para santri sebagai modal untuk menjadi manusia yang bersemangat wirausaha dan sekaligus menunjang pembangunan masyarakat. Sedangkan pengembangan masyarakat di lingkungan pontren juga penting diselenggarakan mengingat pengaruh pontren yang luas terhadap masyarakat.
Sekolah/madrasah yang diselengarakan oleh pontren menggunakan kurikulum yang sama dengan kurikulum di sekolah/madrasah lain yang telah dibakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional atau Departemen Agama. Berbeda dengan di pesantren khalafiyah, pada pesantren salafiyah tidak dikenal kurikulum dalam pengertian seperti kurikulum pada lembaga pendidikan formal. Kurikulum pada pesantren salafiyah disebut manhaj, yang dapat diartikan sebagai arah pembelajaran tertentu. Manhaj pada pontren salafiyah ini tidak dalam bentuk jabaran silabus, tetapi berupa funun kitab-kitab yang diajarkan. Dalam pembelajaran terhadap para santrinya, pontren mempergunakan manhaj dalam bentuk daftar jenis-jenis kitab dalam cabang ilmu tertentu. Kitab-kitab ini harus dipelajari sampai tuntas, sebelum dapat naik jenjang ke kitab lain yang lebih tinggi tingkat kesukarannya. Dengan demikian, tamatnya program pembelajaran tidak diukur dengan satuan waktu, juga tidak didasarkan pada penguasaan terhadap silabi (topik-topik bahasan) tertentu, tetapi didasarkan pada tamat atau tuntasnya santri dalam mempelajari kitab yang telah ditetapkan; sebab kompetensi standar bagi tamatan pondok pesatren adalah kemampuan memahami, menghayati, mengamalkan, dan mengajarkan isi kitab yang telah ditetapkantersebut. Kompetensi standar tersebut tercermin pada penguasaan kitab-kitab secara graduatif, berurutan dari yang mudah ke kitab yang lebih sukar. Kitab-kitab yang digunakan tersebut biasanya disebut kitab kuning (kitab salaf), karena pada umumnya dicetak pada kertas yang berwarna kuning atau yang disebut juga kitab klasik atau kuno. Kitab-kitab tersebut pada umumnya tidak diberi harakat/syakal, sehingga disebut kitab gundul. Dalam tradisi intelektual Islam, penyebutan istilah kitab itu dibedakan berdasarkan kurun waktu atau format penulisannya; kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al kutub al-ashriyyah). Pengajaran kitab-kitab ini, meskipun berjenjang, materinya kadang berulang-ulang. Penjenjangan dimaksudkan untuk memperdalam dan memperluas penguasaan santri terhadap isi/materi. Inilah salah satu ciri penyelenggaraan pembelajaran di pontren. Penjenjangan itu tidaklah mutlak, artinya dapat saja pontren melakukan inovasi dengan mengajarkan kitab-kitab yang lebih populer dan lebih mudah penyajiannya sehingga lebih mudah bagi para santri menguasainya. Madrasah/sekolah yang diselengarakan oleh pontren (kecuali di pontren salafiyah) pada umumnya menerapkan metode yang sama dengan metode pembelajaran yang diterapkan di madrasah/sekolah di luar pontren. Di pontren salafiyah, mata pelajaran adalah apa yang terdapat dalam kitab kuning sebagai kitab rujukan. Metode pembelajaran di pontren salafiyah ada yang bersifat tradisional, yaitu pembelajaran dilaksanakan menurut kebiasaan lama pada pontren (metode pembelajaran asli). Di samping itu ada pula metode pembelajaran modern (tajdid), yaitu hasil pembaharuan kalangan pontren dengan memasukkan metode yang berkembang di sekolah/madrasah -- walaupun tidak selalu diikuti dengan menyelenggarakan sekolah/madrasah. Pontren salafiyah sebagian telah menyerap sistem klasikal, tetapi tidak dengan batas-batas fisik yang tegas sebagaimana pada sekolah/madrasah.
B. Pontren Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam UUSPN ditetapkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia serta bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Ketentuan tersebut menempatkan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada posisi yang amat strategis dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Pontren adalah bagian dari pendidikan keagamaan yang secara historis telah mampu membuktikan peranannya secara konkrit dalam pembentukan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, secara filosofis maupun historis, pontren adalah bagian integral dalam sistem pendidikan nasional.
Di samping posisinya yang penting secara filosofis maupun historis; secara yuridis, pontren pun dengan tegas tercakup dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUSPN. Pontren ada yang diselenggarakan secara berjenjang dan berkelanjutan dan ada yang tidak; pontren yang diselenggarakan secara berjenjang dan berkelanjutan termasuk dalam jalur pendidikan sekolah, sedangkan yang tidak berjenjang dan tidak berkelanjutan termasuk jalur pendidikan luar sekolah. Pontren termasuk jenis pendidikan keagamaan, yaitu pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama. Pontren yang berada pada jalur pendidikan sekolah diselenggarakan secara berjenjang dan berkelanjutan, yakni dapat dikelompokkan dalam jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Pontren dalam sistem pendidikan nasional juga memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional, yaitu: (a) peranan instrumental, (b) peranan keagamaan, (c) peranan memobilisasi masyarakat, serta (d) peranan pembinaan mental dan keterampilan.
Upaya pendidikan secara nasional memerlukan sarana. Sarana-sarana itu selain berupa gedung sekolah, juga bisa berupa komunitas yang kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan. Dalam tataran inilah pontren berperan sebagai salah satu instrumen pendidikan nasional. Pontren tumbuh dan berkembang berdasarkan motivasi agama. Pontren melakukan proses pembinaan pengetahuan, sikap, dan kecakapan yang menyangkut segi keagamaan untuk mengusahakan terbentuknya manusia berbudi luhur (akhlaqul karimah) dengan pengamalan keagamaan yang konsisten. Pendidikan nasional bertujuan untuk menciptakan manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Untuk kepentingan ini, maka pendidikan agama perlu dikembangkan secara terpadu, baik melalui sekolah umum maupun melalui pontren.
Usaha-usaha pendidikan nasional secara formal kini belum mampu menampung seluruh aktivitas pendidikan masyarakat Indonesia, di samping karena masih ada sebagian masyarakat yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan (sekolah), juga karena memang sarananya masih sangat terbatas, terutama di pedesaan. Bagi masyarakat tertentu terdapat kecenderungan mempercayakan pendidikan putra-putrinya hanya kepada pontren.
C. Wajib Belajar Pendidikan Dasar di Pondok Pesantren
Pontren salafiyah yang menyelenggarakan program Wajar Dikdas tetap leluasa menggunakan kurikulum khas pontren, karena hanya perlu menambah beberapa mata pelajaran umum. Mata pelajaran tersebut ada yang harus diajarkan oleh guru melalui tatap muka dan ada yang dapat diberikan melalui penyediaan buku-buku atau penugasan dan bimbingan guru. Mata pelajaran yang harus oleh guru melalui tatap muka ialah bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Mata pelajaran lainnya seperti ilmu pengetahuan sosial, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Inggris dapat diberikan melalui penyediaan buku-buku atau penugasan dan bimbingan guru.
Metode pembelajaran pada program Wajar Dikdas di pontren salafiyah disesuaikan dengan tradisi pontren, artinya metode lama yang baik di pontren dapat terus diterapkan. Bahan ajar mata pelajaran umum untuk program Wajar Dikdas pada pontren salafiyah adalah sama dengan yang digunakan di SD/MI atau pada SMP/MTs. Buku-buku yang digunakan pada SD/MI atau SMP/MTs dapat digunakan untuk pontren salafiyah. Khusus untuk program Wajar Dikdas pada pontren salafiyah ke depan perlu diupayakan penyusunan dan penerbitan buku mata pelajaran umum yang bernuansa pesantren tanpa mengurangi substansi yang harus diberikan pada jenjang pendidikan dasar.
D. Sinergi Antara Pontren Modren (Sekolah) Dengan Pontren Salafiyah
Sekolah/madrasah di Indonesia secara kuantitatif terus berkembang, sedangkan secara kualitatif mengalami pasang-surut. Berbagai upaya untuk peningkatan mutu pendidikan di sekolah/madrasah telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh para pakar dan praktisi pendidikan. Upaya tersebut dalam banyak hal telah menghasilkan kemajuan, namun dalam hal yang lain ada yang masih belum mencapai hasil yang menggembirakan. Khusus dalam kaitannya dengan upaya untuk mengendalikan para siswa dari bahaya demoralisasi, termasuk bahaya berjangkitnya premanisme, narkoba, dan HIV/Aids yang kini kian merajalela di masyarakat termasuk di lingkungan sekolah/madrasah; maka dipandang sangat penting adanya sinergi antara sekolah/madrasah dengan pontren.
Pontren adalah lembaga pendidikan yang diselenggarakan untuk membina kader-kader ulama. Mengingat da’wah merupakan hal yang wajib dilakukan oleh seorang ulama sementara kesuksesan da’wah sangat bergantung kepada penguasaan ulama tersebut terhadap wawasan, sistem, dan ilmu pengetahuan yang berkembang di jamannya, maka di samping ilmu-ilmu agama penting pula ilmu pengetahuan lain dipelajari di lingkungan pontren. Kesadaran yang demikian ini telah berkembang di kalangan pengelola pontren dan pengelola sekolah/madrasah sehingga timbul sinergi antara pontren-pontren dengan sekolah-sekolah. Sinergi itu tampak dari adanya fenomena berikut:
1. Kini berangsur-angsur kian banyak pondok pesantren yang menyelenggarakan sekolah/madrasah, dan sebaliknya b erangsur-angsur kian banyak sekolah/madrasah yang menyelenggarakan pontren.
2. Telah terjadi penyerapan inovasi yang berkembang pada sekolah ke dalam pontren, dan sebaliknya inovasi yang berkembang di pontren juga makin banyak yang diserap ke dalam sekolah.
3. Banyak sekolah/madrasah yang mengarahkan para siswanya agar semasa sekolah tinggal atau mengikuti program pendidikan di pontren, dan sebaliknya kian banyak santri yang selain mondok juga diarahkan untuk bersekolah di luar pontren.
4. Kini jumlah lulusan pontren yang telah menamatkan program Wajar Dikdas ada yang melanjutkan pendidikannya ke sekolah/madrasah, sebaliknya juga makin banyak lulusan sekolah/madrasah yang melanjutkan pendidikannya ke pontren.
Sinergi antara pendidikan sekolah dengan pendidikan pontren dalam membangun masyarakat yang madani harus diupayakan terus agar semakin mantap, misalnya berupa upaya berikut:
1. Bersatu untuk menghadapi tantangan yang kini ada di pelupuk mata baik bagi sekolah maupun pontren ialah memenuhi hajat seluruh anak bangsa agar bersama-sama bisa membangun masyarakat yang madani dengan berbekal pendidikan yang bermutu.
2. Secara serempak kita galang kerjasama antara sekolah-sekolah dan pontren-pontren agar mengoptimalkan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat sehingga pada tahun 2008/2009 semua anak usia 7-15 tahun menikmati pendidikan dasar yang bermutu.
3. Melipatgandakan dan mengaktualkan segala potensi dan sumberdaya yang ada di sekolah/madrasah dan pontren untuk memperluas daya tampung dan kualitas pelayanan pendidikan kepada masyarakat dengan cara menggalang partisipasi segenap komponen bangsa sesuai dengan posisi, kapasitas, dan kompetensinya.
E. Penutup
Pemerintah (selaku regulator, dinamisator, dan fasilitator terhadap peran masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan) sudah seharusnya memberikan dukungan penuh terhadap upaya-upaya untuk memperkuat sinergi antara pendidikan sekolah dengan pendidikan pontren sehingga dua lembaga tersebut dapat mengoptimalkan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat dalam rangka membangun masyarakat yang madani. Upaya tersebut hendaknya tidak hanya berupa peguatan kebijakan dan berhenti hanya pada tataran perundangan, melainkan seyogyanya terealisasi sampai pada tataran operasional.
Pada waktu-waktu yang lampau pemerintah telah memberikan dukungan terhadap upaya tersebut, namun kiranya masih sangat terbatas. Sejak tahun 2001 pemerintah melalui Depdiknas telah memberikan subsidi imbal swadaya kepada sejumlah besar pontren khalafiyah yang menyelenggarakan SMP dan MTs berupa dana untuk membangun ruang kelas baru (RKB) dan ruang penunjang lainnya (RPL). Lalu sejak tahun 2002 Depdiknas juga memberikan subsidi imbal swadaya kepada sejumlah besar pontren salafiyah yang menyelenggarakan program Wajar Dikdas dana untuk membangun RKB. Bahkan pada tahun 2004 Depdiknas juga memberikan dana kepada beberapa pontren untuk mendirikan unit sekolah baru (USB) dalam rangka perluasan daya tampung SMP.
Kini telah terbit Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Bertolak dari instruksi itu maka gerakan nasional percepatan penuntasan wajib belajar sembilan tahun, mencakup seluruh Indonesia dan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat serta lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah, termasuk sekolah dan pontren. Gerakan nasional tersebut dihadapkan pada beberapa kondisi berikut: (1) cukup banyak pihak yang pemahamannya sangat terbatas tentang konsep Wajar sembilan tahun, (2) telah terjadi perubahan personil yang begitu cepat pada jajaran pemerintah daerah sebagai akibat dari penerapan otonomi daerah. Oleh karenanya dipandang perlu untuk dilakukan kegiatan sosialisasi, penyuluhan, dan publikasi tentang Wajar sembilan tahun yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman berbagai pihak tentang konsep Wajar sembilan tahun dan terciptanya gerakan nasional percepatan penuntasan Wajar sembilan tahun yang lebih terpadu, terencana, terkoordinasi, dan akuntabel. Upaya itu hendaknya dilakukan dengan pendekatan budaya, pendekatan sosial, pendekatan agama, pendekatan birokrasi, pendekatan hukum, serta pendekatan konteks.

Senin

Menulis Karena "MENCARI" Perhatian Teman

Nama samarannya Tjiptoning. Pria sepuh berbaju batik dengan kacamata tebal dan rambut putih menghias kepalanya ini adalah penulis yang saya kagumi. Sekarang ia duduk didepan kami, para peserta seminar Pendidikan Pers Mahasiswa, disebuah gedung yang kini disulap menjadi hotel mewah di Yogyakarta.

Setiap jam enam pagi, saat koran lokal Kedaulatan Rakyat sudah diantar ke pelanggan masing-masing, maka pembaca pertama adalah ibu Kost, 70, dan selalu terkekeh sambil menggumam dalam bahasa Belanda. Ditangan kanannya Suryokonto - kaca pembesar ia ayun ayunkan kedepan seakan-akan hendak memukul gemas sang penulis.

Pemandangan bertahun tahun saya saksikan manakala ibu Atmo, induk semang saya, usai menyelesaikan kolom Tjiptoning. Saya sendiri menunggu serial SH Mintardja “Api di Bukit Menoreh.” berdebar menunggu lanjutan pertarungan apakah Kiyai Gringsing memenangkan pertarungan dengan cambuknya yang nggegirisi - menakutkan.

Siapa sih nama sebenarnya Tjiptoning ini, Bu?” - lalu beliau menyebut nama seorang Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat yaitu alm Bapak Wonohito.

Maka ketika bapak Wonohito selesai berbicara dan kesempatan tanya jawab digelar, saya seperti mendapat durian sultan runtuhan. Pertama kali maju dan menanyakan resep menulis agar menarik perhatian dan bisa dimengerti pembaca. Bapak Tjiptoning alias Wonohito yang berkopiah dan mengenakan baju batik, hanya menurunkan kacamatanya, lalu menjawab, “berikan kepada orang rumah, bisa ibu atau nenek, lalu tanyakan apakah beliau mengerti yang kita tulis.

Kalau mereka masih membetulkan letak kacamatanya, pertanda tulisan harus dirombak agar dapat dimengerti. Nasihat lain, jauhkan dari penggunaan kalimat asing, sebab kita tidak ingin menyiksa pembaca dengan menjejalkan istilah yang hanya bisa dimengerti oleh sekelompok masyarakat tertentu.

Pembicara lain dalam seminar yang menginspirasi saya adalah Ashadi Siregar. Nasihatnya sederhana, menjadi penulis perlu menyetel rasa peka agar lebih tajam daripada biasanya.
Tentu peserta seminar bertanya “caranya bagaimana?

Kalian perhatikan saja di koran, manakala ada orang putus cinta, patah hati. Kebanyakan orang akan memberikan nasihat “cari yang pengganti yang lain dunia tak selebar daun kelor….” - padahal kata-kata ini penyakit kronis. Anda akan mati rasa dengan penderitaan orang lain.

Seorang penulis, akan terhanyut emosi bersama perasaan sang patah hatiawan atau patah hatiwati sebab dari situlah digali sebuah karakter atau bahan untuk membuat artikel. Itulah sebabnya kebusukan masyarakat umumnya dibongkar oleh wartawan karena mereka memiliki sensitivitas yang tajam dan terlatih.

Maka, pulang dari seminar, rasanya saya sudah siap menulis. Mesin ketik portable Brother dengan pita dwiwarna hitam dan merah sudah saya pegang berjam-jam. Tapi ternyata tak sepotong hurup muncul untuk sebuah artikel. Menulis masih terlalu sukar bagi saya, akhirnya hasil seminar berlalu begitu saja terlupakan.

Sampai datang seorang teman, dia meledek, percuma buang waktu menghadiri seminar kalau tidak pernah menghasilkan tulisan. Bisanya kok menulis untuk Suara Pembaca.

Saya biarkan teman ini menyerocos. Lalu kami berdiri makan angin didepan rumah kos-kosan yang terletak di jalan Dr. Sutomo, Yogyakarta. Tiba-tiba “sreeng” melintaslah teman-teman dari kos-kosan putri dengan menggunakan motor bebek. Selesai “uluk salam” - alias ber hai-hai - saya merasakan sesuatu yang mengganjal.

Indri, Titik, Tatik, Ninuk dan teman-teman tadi keluar asrama dengan menggunakan daster, sandal jepit dan gulungan rol rambut dikepalanya.

Bujug Buneng .. apa-apaan ini maka merucutlah gagasan menulis mengenai etika berpakaian. Mengenakan rol rambut, memborehi cream di wajah, adalah sarana mempercantik diri, namun kalau mejeng dijalan dengan pakaian dan cara dandan seadanya, lalu bagaimana akan dibilang cantik?

Tulisan itu saya ketik, bahkan ketika sohibah saya yang crigis (cerewet) datang, naskah disembunyikan dari pandangannya.

Pokoknya sedang menulis artikel untuk koran. Padahal dalam hati ragu naskah diterima redaksi. Maklum para penulis di Yogya kalau pakai gelar kesarjanaan berlapis-lapis, bisa memenuhi garis pinggir kartu nama dari margin kiri sampai margin kanan. Ditambah konon untuk laik muat di koran, diperlukan usaha berulang ulang.

Ada dua hari saya mengebut menyelesaikan naskah sampai tengah malam. Pembantu sempat komplin dipagi hari karena suara mesin ketik sampai jauh malam. Naskah saya masukkan kedalam amplop dan saya serahkan sendiri ke redaksi Kedaulatan Rakyat.

Ternyata seminggu kemudian, artikel tersebut dimuat di edisi Minggu Pagi, dengan judul dan beberapa kalimat diperbaiki sana sini. Suenangnya(e) luar biasa. Maka orang pertama saya traktir makan honor menulis, ngiras jajan Bakso Tahu Plempung di jalan Solo adalah sang pengkritik sekalipun menulis surat buat kekasihnyapun ia minta tolong.

Sementara Indri dan gengnya tidak tahu siapa jati diri penulis sebab saya menggunakan nama samaran “Mimin.”